Photo ini diambil pada kesempatan liburan akhir tahun 2001 di hutan lindung Pananjung; saat itu beliau sudah sering mengeluh kesulitan berjalan, nampaknya ini adalah 'jalan-jalan' terakhir yang sempat beliau lakukan karena setelah itu beliau berulang-kali mengalami ''gangguan hingga pada akhirnya sama-sekali mengandalkan bantuan untuk bisa bergerak.
Beliau adalah gadis dari 'desa tetangga' dalam posting berjudul Iing Suwarli's Family, the Unwrote Story.
Sebelum dipersunting oleh Iing Suwarli yang kini jadi suaminya dengan memberikan 11 orang anak, beliau adalah gadis pengungsi menghindari gangguan gerombolan DI/TII yang sedang 'mangganas' pada waktu itu.
Kerajinan dan kesederhanaannya telah memikat keluarga Achnari yang beristerikan Empok. Keluarga ini kemudian meminangnya untuk anak bungsunya yang kala itu sudah mengembara di Betawi sebutan Jakarta pada waktu itu. Photo hitam putih seluruh badan segera dikirim melalui kurir ke Betawi sebagai pemberitahuan. Demikian cara perjodohan yang berlaku pada saat itu.
Photo bersejarah itu saya sempat melihatnya terakhir di album uwa Entar Yayah pada sekitar tahun 1966, entah di mana dan siapa yang masih menyimpannya.
Kerajinan dan 'kreativitas' adalah dua kata-kunci yang kemudian terbukti bagaimana Sa'adah muda mampu mengatasi gelombang kehidupan berumah-tangga yang sering tidak bersahabat.
Pada awal-awal berumah-tangga, Sa'adah bersama Iing Suwarli tinggal di rumah sewa secara berpindah-pindah. Mula-mula tinggal di daerah Kepu Dalam, di mana keluarga 'migran' dari daerah Jawa Barat umumnya, Tasikmalaya pada khususnya mendominasi daerah ini. Anak pertama lahir ketika tinggal di sini.
Kemudian keluarga ini tinggal di daerah Gang Kran, masih tidak jauh dari daerah Kepu, lebih dekat ke Bandar Udara Kemayoran. Anak ke 2 dan 3 lahir di sini; anak ke 2 kemudian dirawat dan dibesarkan oleh sang kakak yang kebetulan hanya mempunyai anak tunggal yang sudah besar dan dirawat oleh neneknya.
Dari Gang Kran, keluarga ini pindah ke Gunung Sahari 7 (Dalam) tinggal di rumah sewa milik Abah Sarim, keluarga asal Jasinga-Bogor yang sangat bijak. Karena kerajinan dan tutur-sapa yang baik, keluarga Abah Sarim menganggap Sa'adah sebagai bagian dari keluarganya.
Dengan mengumpulkan sisa uang gajinya yang tidak seberapa, tetapi karena 'rikrik-gemi' nya Sa'adah, pada sekitar tahun 60an keluarga ini pindah ke daerah 'pemukiman-baru' di daerah Ampera Gunung Sahari-Ancol bersama keluarga 'migran' lainnya 'mematok-kavling' di daerah rawa yang diurug oleh limbah dari pabrik korek api 'Java-Match'.
Limbahnya berupa kayu-tipis, sejenis kayu yang digunakan sebagai kotak korek-api. Ratusan hektare rawa dan empang diurug yang kemudian dijadikan tempat pemukiman. Tidaklah heran bila sampai sekarang daerah ini menjadi langganan rob, karena cerita tentang banjir sudah terjadi sejak jauh pada jaman-jaman sebelumnya.
Banyak kenangan sedih dan lucu terjadi di sini. Sedih karena awalnya terpencil dan sering dilanda banjir sehingga tidak bisa ke mana-mana sampai banjir surut. Sa'adah juga sering mengalami stress, di sini saya pernah menjadi saksi bagaimana menyaksikan 'orang-kesurupan'.
Di tempat ini pula saya menyaksikan bagaimana sesama saudara bahu-membahu membangun rumah dengan metoda dan material seadanya pada jaman itu. Bantuan Uwa Uwon dan Uwa Iding tidak bisa diabaikan. Rumah itu besar dan luas, terbuat dari kayu, awalnya berlantai tanah, tanpa langit-langit sehingga pada waktu tidur terlentang yang ada hitam kelam, terkadang muncul siluet yang membawa imajinasi liar seperti pada film-film horor. Pada saat itulah do'a-do'a yang diajarkan mujarab mengantar tidur pulas dan baru terbangun di kala subuh.
Sa'adah muda menerima pesanan jahitan kebaya. Pekerjaannya rapi sehingga banyak tetangga yang minta tolong dibuatkan. Pesanan biasanya datang menjelang lebaran. Disamping itu juga Sa'adah menjual gado-gado, buatannya enak sehingga jarang tersisa dan habis dalam waktu singkat.
Di rumah ini juga melengkapi kebahagiaan Iing Suwarli, karena anak perempuan yang didambakan lahir, setelah 4 anak yang lahir sebelumnya semuanya laki-laki.
(To be continued .....)
Sebelum dipersunting oleh Iing Suwarli yang kini jadi suaminya dengan memberikan 11 orang anak, beliau adalah gadis pengungsi menghindari gangguan gerombolan DI/TII yang sedang 'mangganas' pada waktu itu.
Kerajinan dan kesederhanaannya telah memikat keluarga Achnari yang beristerikan Empok. Keluarga ini kemudian meminangnya untuk anak bungsunya yang kala itu sudah mengembara di Betawi sebutan Jakarta pada waktu itu. Photo hitam putih seluruh badan segera dikirim melalui kurir ke Betawi sebagai pemberitahuan. Demikian cara perjodohan yang berlaku pada saat itu.
Photo bersejarah itu saya sempat melihatnya terakhir di album uwa Entar Yayah pada sekitar tahun 1966, entah di mana dan siapa yang masih menyimpannya.
Kerajinan dan 'kreativitas' adalah dua kata-kunci yang kemudian terbukti bagaimana Sa'adah muda mampu mengatasi gelombang kehidupan berumah-tangga yang sering tidak bersahabat.
Pada awal-awal berumah-tangga, Sa'adah bersama Iing Suwarli tinggal di rumah sewa secara berpindah-pindah. Mula-mula tinggal di daerah Kepu Dalam, di mana keluarga 'migran' dari daerah Jawa Barat umumnya, Tasikmalaya pada khususnya mendominasi daerah ini. Anak pertama lahir ketika tinggal di sini.
Kemudian keluarga ini tinggal di daerah Gang Kran, masih tidak jauh dari daerah Kepu, lebih dekat ke Bandar Udara Kemayoran. Anak ke 2 dan 3 lahir di sini; anak ke 2 kemudian dirawat dan dibesarkan oleh sang kakak yang kebetulan hanya mempunyai anak tunggal yang sudah besar dan dirawat oleh neneknya.
Dari Gang Kran, keluarga ini pindah ke Gunung Sahari 7 (Dalam) tinggal di rumah sewa milik Abah Sarim, keluarga asal Jasinga-Bogor yang sangat bijak. Karena kerajinan dan tutur-sapa yang baik, keluarga Abah Sarim menganggap Sa'adah sebagai bagian dari keluarganya.
Dengan mengumpulkan sisa uang gajinya yang tidak seberapa, tetapi karena 'rikrik-gemi' nya Sa'adah, pada sekitar tahun 60an keluarga ini pindah ke daerah 'pemukiman-baru' di daerah Ampera Gunung Sahari-Ancol bersama keluarga 'migran' lainnya 'mematok-kavling' di daerah rawa yang diurug oleh limbah dari pabrik korek api 'Java-Match'.
Limbahnya berupa kayu-tipis, sejenis kayu yang digunakan sebagai kotak korek-api. Ratusan hektare rawa dan empang diurug yang kemudian dijadikan tempat pemukiman. Tidaklah heran bila sampai sekarang daerah ini menjadi langganan rob, karena cerita tentang banjir sudah terjadi sejak jauh pada jaman-jaman sebelumnya.
Banyak kenangan sedih dan lucu terjadi di sini. Sedih karena awalnya terpencil dan sering dilanda banjir sehingga tidak bisa ke mana-mana sampai banjir surut. Sa'adah juga sering mengalami stress, di sini saya pernah menjadi saksi bagaimana menyaksikan 'orang-kesurupan'.
Di tempat ini pula saya menyaksikan bagaimana sesama saudara bahu-membahu membangun rumah dengan metoda dan material seadanya pada jaman itu. Bantuan Uwa Uwon dan Uwa Iding tidak bisa diabaikan. Rumah itu besar dan luas, terbuat dari kayu, awalnya berlantai tanah, tanpa langit-langit sehingga pada waktu tidur terlentang yang ada hitam kelam, terkadang muncul siluet yang membawa imajinasi liar seperti pada film-film horor. Pada saat itulah do'a-do'a yang diajarkan mujarab mengantar tidur pulas dan baru terbangun di kala subuh.
Sa'adah muda menerima pesanan jahitan kebaya. Pekerjaannya rapi sehingga banyak tetangga yang minta tolong dibuatkan. Pesanan biasanya datang menjelang lebaran. Disamping itu juga Sa'adah menjual gado-gado, buatannya enak sehingga jarang tersisa dan habis dalam waktu singkat.
Di rumah ini juga melengkapi kebahagiaan Iing Suwarli, karena anak perempuan yang didambakan lahir, setelah 4 anak yang lahir sebelumnya semuanya laki-laki.
(To be continued .....)