K.H. Zainal Mustofa.
National Hero from Singaparna.
K.H. Zainal Mustofa.
Pahlawan Nasional dari Singaparna.
Born with a nickname as Hudaemi or called as Umri, in a small villageCikembang in “kawedanaan” (territory under the district) Singaparna, Tasikmalaya chronicle in the year AD 1907.
Since the age of 10 years, Hudaemi has seen interest to explore the religious sciences of Islam. In addition to studying at public schools, young Umri also “nyantri “ to several people that qualified religious scholars of his day. At school he was among the students who stand out. At age 12, he had memorized the Quran and science Nahwu-Sharaf.
After graduating from public schools (or elementary school), Umri continue his education to some of the leading “pesantren” (traditional Islamic boarding school) of that era such as in boarding-school Gunungpari, Cilenga, Sukaraja, Sukamiskin and Jamanis.
At the age of 20 years (1927 AD), a young Umri founded the boarding school in Kampung Pondok Pesantren Cikembang by Name Sukamanah (village name is changed according to the name of the boarding school which he founded) on the land endowments and grants for homes, mosques and life provision of a philanthropist widow the late waAlmagfur laha Hj. Siti Juariah.
Upon their return pilgrimage to Mecca, Hudaemi or Umri changed his name as H. Zainal Mustofa, a custom prevailing at that time.
Provided with the Elementary School diploma and sciences which he achieved from some pesantrens for 17 years with his cousin KH. Zainal Muhsin Rahimahullah (Founder of Sukahideung School in 1922 AD by wakaf land and generous grants from a same widow), he leads this boarding school for approximately 17 years. With a diligent, sincere and full of spirit he educate and teach the santri. At that time the number of students who boarded in 6 dormitory about 600 people and unboarded more numerous. Within a dozen years he managed to score the santri clever and charity, independent and able to disseminate knowledge that has been held in various places and their hometown.
Because of religious lectures that do are considered to attack the colonial government policies of that era, with charges of spreading hostility among the people in government who are in power, the Dutch captured and imprisoned in Sukamiskin jail are then transferred to a prison in Ciamis.
During the Japanese occupation, peace and tranquility of this Sukamanah boarding school to be disturbed by the challenge and the pride of the Japanese invaders that require residents every morning bowed towards the sun rises to honor the Ra Sun God which of course this is contrary to the aqidah he believed. KH Zainal Mustofa oppose these command openly.
Of course this attitude of defiance, make the Japanese government's wrath and sent a messenger to pick up KH Zainal Mustofa.
But the "messenger" who was assigned to pick up him, "finished off" by the young men who were loyal to him, which of course then angered the Japanese.
Sukamanah besieged from all directions, involving no fewer than 11 companies, equivalent to a fully armed regiment. This does not make the santris are loyal to him to be fearless, but instead evoke the spirit of Jihad and courage so that KH. Zainal Mustofa and his santris fight with all the ability and strength at that time, only with bamboo swords and sharpened bamboo spears that with full confidence and reliance on Allah the Almighty, there was fierce fighting on 1 Rabi’ul Awal 1363 H / 25 February 1944 M after Friday’s Pray. Killed on the battlefield of the martyrs of Sukamanah as many as 86 people.
Due to the power imbalance, this bloody battle only lasts about 2 hours. As for KH. Zainal Mustofa along with some of his followers were also arrested that day and it is unknown where and where they are located.
Praise to Allah and His grace, thanks to his students (of the late KH Zainal Mustofa) named Colonel Drs. H. Syarif Hidayatullah, KH. A. Muhsin Wahab, KH. Muh. Fuad Muhsin, KH. Muh. Syihabuddin Muhsin (Rahimahumullah), H. Utang Affandy and other prominent figures to do the search for a long time, and it was found that under Dutch Ereveld Office documents in Ancol Jakarta, it found out he and his colleagues at first imprisoned in Tasikmalaya, then moved to Cipinang prison in Jakarta. He and his loyal 17 people followers executed and died as martyrs on October 25, 1944 somewhere in North Jakarta coast.
Then on August 25, 1973 mortal remains and 17 people his loyal followers are on the move to the Heroes Cemetery Sukamanah.
KH Zainal Mustofa was awarded the title of National Hero through Presidential Decree No. 064/TK 1972 November 20, 1972.
He is listed as one of the national hero whom fought against the tyranny of occupation derived from the pesantren.
wakaf = property donated for religious or community use
santri = student at traditional Muslim boarding school.
pesantren = typical Muslim boarding school.
Kabupaten = district, part of province
Indonesian Version:
Terlahir dengan nama kecil Hudaemi dan nama panggilan sehari-hari Umri, di sebuah desa kecil Cikembang di kawedanaan Singaparna, Tasikmalaya pada tahun tarikh Masehi 1907.
Sejak berusia 10 tahun sudah terlihat minat Hudaemi untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Selain menimba ilmu di sekolah umum, Umri kecil juga nyantri kepada beberapa orang kyai yang mumpuni pada jamannya. Di sekolahnya dia termasuk murid yang menonjol. Pada usia 12 tahun, dia sudah hafal Al-Qur’an serta ilmu nahwu-sharaf.
Setelah lulus sekolah rakyat, Umri melanjutkan pendidikannya ke beberapa pesantren terkemuka pada jaman itu diantaranya di pesantren Gunungpari, Cilenga, Sukaraja, Sukamiskin dan Jamanis.
Pada usia 20 tahun (1927 M), Umri muda mendirikan Pondok Pesantren di Kampung Cikembang dengan Nama Pondok Pesantren Sukamanah (nama kampung tersebut berubah sesuai dengan nama Pesantren yang beliau dirikan) di atas tanah wakaf dan hibah untuk rumah, mesjid dan bekal hidup dari seorang janda dermawan Almarhumah waAlmagfur laha Hj. Siti Juariah.
Sepulangnya menunaikan ibadah haji, Hudaemi atau Umri mengganti namanya sebagai H. Zainal Mustofa, suatu kebiasaan yang berlaku pada masa itu
Dengan berbekal Ijazah Sekolah Rakyat dan ilmu-ilmu yang diraihnya dari beberapa Pesantren selama 17 tahun bersama kakak misannya KH. Zainal Muhsin Rohimahulloh (Pendiri Pesantren Sukahideung tahun 1922 M dengan tanah wakap dan hibah dari seorang janda dermawan yang sama), beliau memimpin Pesantren ini selama kurang lebih 17 tahun. Dengan tekun, tulus dan penuh semangat beliau mendidik dan mengajar para santrinya. Saat itu jumlah santri yang diasramakan dalam 6 asrama sekitar 600 orang dan yang tidak diasramakan jumlahnya lebih banyak. Dalam tempo belasan tahun tersebut beliau berhasil mencetak para santrinya berilmu dan beramal, mandiri dan sanggup menyebarluaskan ilmu yang telah dimilikinya di berbagai tempat dan kampung halamannya.
Karena dalam ceramah-ceramah keagamaan yang dilakukannya dianggap menyerang kebijakan pemerintah kolonial pada jaman itu, dengan tuduhan telah menyebarkan sikap bermusuhan di kalangan masyarakat pada pemerintah yang sedang berkuasa maka Belanda menangkap dan memenjarakannya di penjara Sukamiskin yang kemudian memindahkannya ke penjara di Ciamis.
Selama pendudukan Jepang, ketenangan dan ketentraman Pesantren Sukamanah ini menjadi terganggu dengan tantangan dan kecongkakan Penjajah Jepang yang mengharuskan penduduk setiap pagi membungkuk kearah matahari terbit untuk menghormati Ra Dewa Matahari yang tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan aqidah yang diyakininya. KH Zainal Mustofa menentang perintah tersebut secara terang-terangan.
Tentu saja sikap pembangkangan ini membuat pemerintah Jepang murka dan mengirim utusan untuk menjemput KH Zainal Mustofa.
Tetapi “utusan” yang ditugaskan untuk menjemput ini, “dihabisi” oleh pemuda-pemuda yang setia kepadanya, yang tentu saja kemudian mengundang kemarahan pihak Jepang.
Sukamanah dikepung dari berbagai arah, melibatkan tidak kurang dari 11 kompi, setara dengan 1 resimen bersenjata lengkap. Hal ini tidak membuat para santri yang setia padanya menjadi gentar, tetapi malahan membangkitkan semangat Jihad dan keberanian sehingga KH. Zainal Mustofa beserta para Santrinya melawan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya saat itu; hanya dengan pedang bambu dan bambu runcing yang ditajamkan dengan keyakinan dan ketergantungan penuh kepada Alloh Yang Maha Kuasa terjadilah pertempuran sengit pada tanggal 1 Rabi’ul Awal 1363 H /25 Pebruari 1944 M ba’da jumat.Gugur di medan tempur dari pihak Sukamanah sebagai Syuhada sebanyak 86 orang.
Karena kekuatan yang tidak seimbang, pertempuran berdarah ini hanya bisa bertahan sekitar 2 jam saja. Adapun KH. Zainal Mustofa beserta sebagian pengikutnya pada hari itu juga ditangkap dan tidak diketahui ke mana dan di mana mereka berada.
Alhamdulillah berkat Rahmat Allah dan KaruniaNya santri-santri Almarhum bernama Kolonel Drs. H. Syarif Hidayatullah, KH. A. Wahab Muhsin, KH. Muh. Fuad Muhsin, KH. Muh. Syihabuddin Muhsin (Rahimahumullah), H. Utang Affandy dan tokoh tokoh lainnya melakukan upaya pencarian dalam waktu yang lama, dan akhirnya diketahui berdasarkan dokumen Kantor Ereveld Belanda di Ancol Jakarta, ternyata beliau dan rekan-rekannya pada mulanya dipenjarakan di Tasikmalaya, lalu dipindahkan ke penjara Cipinang-Jakarta. Beliau dan 17 orang pengikut setianya dieksekusi dan gugur sebagai syuhada pada tanggal 25 Oktober 1944 disuatu tempat di pantai Utara Jakarta.
Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1973 jenazah beliau dan 17 orang pengikut setianya tersebut di pindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah.
KH Zainal Mustofa dianugerahi predikat Pahlawan Nasional memlalui SK Presiden R.I No. 064/TK tahun 1972 tanggal 20 Nopember 1972.
Beliau tercatat sebagai salah satu pahlawan nasional yang berjuang melawan tirani penjajahan yang berasal dari lingkungan pondok pesantren.